Pagi, lalu siang. Sore, lalu malam. Duh, pagi lagi. Duh, kuliah lagi. Ya ampun tugasnya belum selesai. Ah, kebut aja deh sabodo teuing hasilnya.
Gitu-gitu terus. Tiba-tiba udah seminggu. Eh, bukan seminggu, gak kerasa sebulan. Sebulan yang tidak sesuai resolusi. Makan gak dipilih, bersih-bersih gak jalan, ibadah gak khusyu', tugas keteteran, buka-buka sosmed terus, gak produktif. Aaah..
Bosan. Bosan sama teman-teman. Bosan sama kos-an. Bosan sama kerjaan. Bosan.
Buka mata, ketemu langit-langit yang sama. Mandi dengan durasi yang sama. Baju gitu-gitu aja. Berangkat pulang kampus gak ada yang berubah.
Parah. Umur segini, tambah doang, gede engga. Ya ampun mau sampai kapan ya? Tanya-tanya terus tapi cari jawabannya di folder film. Hikmah film, katanya. Percuma kali, film selesai, hidup masih berjalan. Tiap hari mau hidup bareng film emangnya?
Yaudah ah, cari-cari di luar. Jauh-jauh dari yang gak enak. Mengasingkan diri yang paling disuka, kan? Pergi sana, keluar! Sendiri tapi tidak pernah sepi, kan? Sudah sana, jangan keluar!
Butuh teman, katanya. Tapi tidak mau yang ini, malas. Tidak pengertian, egois, mau enak saja. Tidak mau yang itu juga, ribet. Tidak peka, ingin tahu urusan orang, tidak mendengarkan. Ah, tidak nyaman.
Mau cari yang baru, katanya. Ayo, coba saja. Kesini bisa, kesitu bisa. Ketemu dengan takdir kan. Takdir butuh waktu, sedangkan ia tidak sabar.
Cari, cari, cari terus..
Ketemu?
Sudah pas?
Belum juga?
Sudah menyerah?
Masih ingin bersikukuh?
Ya ampun, bagaimana sih yang dicari?
Sempurna?
Hahaha, lucu dia. Mencari yang seperti itu akan habis waktu. Belum tentu ada. Ah tidak, tidak ada. Tidak percaya, kan? Ya memang, dia batu.
Terserah, tunggu hingga dia lelah.
Nah, akhirnya. Sudah lelah? Sudah tidak mau melanjutkan pencarian lagi?
"Percuma. Aku rasa tidak akan menemukannya, setidaknya pasti akan sangat lama. Aku lelah. Mengejar sempurna yang kubuat nyata, tapi kejarannya fana."
Ah masa? Kamu yakin? Tidak akan berubah pikiran, nih?
"Sudah, aku sudah. Aku sudah saja."
Kenapa bisa tiba-tiba begini? Kemarin-kemarin kan tidak seperti ini.
"Pagi itu aku melamun. Yah, memandang langit-langit kamar yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku merasa lelah. Hasilnya tidak ada apa-apa, bahkan tidak bertambah sedikit pun. Karena harus ke kampus, aku mandi segera. Merasakan air pancuran seperti dicurahkan kasih Allah, segar. Mengancingkan kemeja yang kubeli sudah lama, masih pas. Mengikat boots yang aku impikan dulu. Keluar pagar kos, menuju kampus. Desir angin jam 8 pagi. Aroma masak warteg kesayangan. Jalanku seperti ringan. Bukan semangat, tapi tidak malas."
Sudah, karena itu saja?
"Tidak. Bukan hanya atau saja. Yang tadi sudah cukup banyak. Sampai akhirnya aku pulang dari kampus diantar teman dekat. Baik sekali mengantar sampai depan pagar kos. Selalu, setiap hari."
Oh, sudah mensyukuri teman yang sekarang?
"Ya. Tapi bukan hanya teman. Ketika aku membuka pintu kamar kos, aku bingung."
Bingung kenapa? Barangmu hilang? Dicuri? Wah, gawat! Daerahmu memang sedang rawan.
"Tidak ada yang hilang. Justru aku merasa lengkap. Aku bingung, apalagi yang aku minta kemarin-kemarin? Semuanya sudah ada. Kenapa aku haus jika aku sudah kembung?"
Ketemu jawabannya?
"Ya. Aku serakah. Aku selalu mencari tapi tidak pernah menikmati. Aku selalu meminta tapi tidak pernah menuang cinta. Aku sibuk menanam bibit baru, hingga buah-buah yang ranum akhirnya jadi busuk. Harusnya aku puas. Harusnya aku bersyukur. Semuanya sudah lebih dari yang seharusnya aku dapatkan. Aku hanya harus belajar sederhana."
Apa itu?
"Mengerti sesuatu bukan dengan memakluminya, tapi dengan mensyukurinya."