Tersedak-sedak aku di pagi-pagi. Membacanya membuatku langsung membuka obrolan kita terakhir kali. Meraung-raung aku jadinya. Aku tidak tau kapan terakhir kali aku bilang sayang padamu, kapan terakhir kali aku memelukmu, kapan terakhir kali aku terisak mengeluh padamu, kapan terakhir kali aku mencari-carimu, kapan terakhir aku mencium tanganmu. Sosokmu begitu kuat, begitu bisa diandalkan, begitu tidak pernah menangis di depanku hingga aku dapat memiliki kesempatan mengusapnya. Berkali-kali dirimu mengomel ini-itu tidak sebanyak sayangmu. Berkali-kali ketidakpedulianmu tidak sebanyak kekhawatiranmu. Sedihkah kamu memiliki kami yang tidak pandai menyampaikan cinta? Kami hanya seringkali memerlukanmu ketimbang menawarkan diri padamu.
Dahulu, kita tertawa. Pada jenaka yang tiba-tiba ada dan hanya kita semua yang mengerti saja. Dahulu, kita saling menatap. Pada tiap pagi di meja makan dengan sarapan tersedia. Dahulu, kita ada banyak tanya. "Bagaimana hari ini?" "Capek, ya?" "Besok mau kemana?" "Mau makan apa?" Tapi semuanya selalu datang darimu, dan aku hanya menerima. Yang bahkan menerimanya pun aku tidak pandai.
Kini aku dewasa. Aku merasa semua sudah perlu kutanggung semua, hal ini hal itu adalah aku yang pegang semua. Sampai kita beda dunia. Aku anggap dirimu tak tau apa-apa, tidak membiarkan dan mengantarkanmu tau cerita dan suka dukaku. Tiba-tiba saja kamu jadi tidak tau apa-apa tentangku, "Loh sama siapa?" "Emang pernah?" "Kapan itu?" "Itu apa?"
Lalu aku sadar, kita jauh. Lebih dari jarak antar kota. Kita sejauh umur, yang tak tau kapan habisnya.
Aku rindu. Pada setiap canda dan senyummu. Aku mau. Memberi hadiah dan mengusap punggungmu pada lelah. Aku selalu. Sayang dan butuh dirimu.
Namun, aku tidak pandai pada semua itu. Hingga saat ini aku tau, we never could pay everything you give, Mom.